Agraria

Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973

Pencabutan hak atas tanah dan/atau benda yang ada diatasnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada diatasnya (“UU No 20/1961”) hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta dengan cara-cara yang adil dan bijaksana dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda yang ada di atasnya diharapkan menggunakan pedoman-pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya (“Inpres No 9/1973”).

Dalam pasal 1 Lampiran Inpres No 9/1973, suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau kepentingan masyarakat luas, dan/atau kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan Pembangunan. Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum meliputi bidang:

Pertahanan;
Pekerjaan Umum;
Perlengkapan Umum;
Jasa Umum;
Keagamaan;
Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya;
Kesehatan;
Olahraga;
Keselamatan Umum terhadap bencana alam;
Kesejahteraan Sosial;
Makam/Kuburan;
Pariwisata dan Rekreasi;
Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
Suatu proyek pembangunan dinyatakan sebagai bentuk kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum apabila proyek tersebut sudah termasuk dalam rencana pembangunan yang telah diberitahukan kepada masyarakat yang bersangkutan.

PanitiaPenaksir sebagai dimaksud dalam Pasal 4 UU NO.20/1961 dalam menerapkan besarnya ganti rugi atas tanah/bangunan/tanaman yang berada di atasnya harus menaksir secara obyektif dengan tidak merugikan kedua belah pihak dan dengan menggunakan norma-norma serta memperhatikan harga-harga penjualan tanah/bangunan/tanaman di sekitanrnya dalam tahun yang sedang berjalan.

Dalam Pasal 6 Lampiran Inpres No.9/1973, pembayaran ganti-rugi kepada pihak-pihak yang hak atas tanahnya dicabut, oleh pihak yang berkepentingan harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung kepada pihak yang berhak. Rencana penampungan pihak-pihak yang hak atas tanahnya dicabut, oleh yang berkepentingan harus diusahakan sedemikian rupa agar pihak yang dipindahkan itu tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya/mencari nafkah kehidupan yang layak seperti semula.

Maria Amanda

read more

Pelayanan Survey, Pengukuran, Pemetaan sebagai Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional menurut PP No.13 tahun 2010

Dalam pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (“PP No.13/2010”), salah satu jenis penerimaan negara bukan pajak yang diterima oleh Badan Pertanahan Nasional adalah dari pelayanan survey, pengukuran, pemetaan.

Pelayanan survey, pengukuran, dan pemetaan meliputi:

1. Pelayanan Survei, Pengukuran Batas Kawasan atau Batas Wilayah, dan Pemetaan;
2. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah dalam rangka Penetapan Batas, yang meliputi:

i. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah;

-luas tanah sampai 10 hektar

Tarif: Tu = (L/500 x HSBKu) + Rp.100.000,00

-luas tanah 10-1000 hektar

Tarif: Tu = (L/4000 x HSBKu) + Rp.14.000.000,00

-luas tanah lebih dari 1000 hektar

Tarif: Tu = (L/10.000 x HSBKu) + Rp.134.000.000,00

ii. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah Secara Massal

Secara Massal adalah permohonan yang diajukan paling sedikit 10 (sepuluh) bidang dalam 1 (satu) kelurahan, desa, atau nama lainnya.

Tarif: Tum = 75% x Tu

iii. Pelayanan Pengembalian Batas; dan

Tarif: Tpb= 150% x Tu

iv. Pelayanan Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi.

Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi adalah legalisasi gambar ukur hasil pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah yang dilakukan oleh surveyor berlisensi.

Tarif: Tsl= 30% x Tu

Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah, atau Ruang Perairan
Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah, atau Ruang Perairan adalah seluruh jenis kegiatan pengukuran dalam rangka penetapan batas ruang atas tanah, atau ruang bawah tanah untuk penerbitan sertifikatnya atau kegiatan pertanahan lainnya.

Tarif: 300% x Tu

Yang dimaksud dengan:

hektar adalah luas sama dengan 10.000 m2.
Tu adalah Tarif Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah dalam rangka Penetapan Batas.
L adalah Luas tanah yang dimohon dalam satuan luas meter persegi (m2).
HSBKu adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan pengukuran yang berlaku untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan.
Tum adalah Tarif Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Secara Massal.
Tpb adalah Tarif Pelayanan Pengembalian Batas.
Tsl adalah Tarif Pelayanan Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi

Maria Amanda

read more

Persyaratan dan Tata Cara untuk memperoleh Keterangan mengenai Data Fisik dan Data Yuridis Bidang Tanah

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”), data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.

Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 7 PP No. 24/ 1997, data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”).

Berdasarkan Pasal 187 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997, informasi mengenai data fisik dan data yuridis yang ada pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah adalah terbuka untuk umum. Persyaratan untuk memperoleh informasi mengenai data fisik dan atau data yuridis bidang tanah adalah adanya permohonan tertulis dengan menyebutkan keperluannya, kecuali dalam hal SKPT yang diberikan untuk pemeriksaan sertifikat oleh PPAT tidak diperlukan permohonan tertulis. Informasi tersebut juga dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan secara visual atau secara tertulis. Apabila informasi diberikan secara tertulis, maka akan diberikan dalam bentuk Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (“SKPT”).

Berdasarkan Pasal 191 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam daftar nama hanya dapat diberikan kepada Instansi Pemerintah yang memerlukan untuk keperluan pelaksanaan tugasnya. Tata cara permohonannya adalah dengan mengajukan permintaan yang menyebutkan keperluan tersebut. Permintaan tersebut dipenuhi setelah disetujui oleh Kepala Kantor Pertanahan.

Alsha Alexandra Kartika

read more

Pemecahan, Pemisahan, dan Penggabungan Bidang Tanah

Latar Belakang

Pengaturan mengenai pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”) dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”).

I. Pemecahan Bidang Tanah
Pemecahan bidang tanah secara rinci diatur dalam Pasal 48 PP No. 24/1997 dan Pasal 133 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997.

PP No. 24/1997 maupun Permenag/Ka.BPN No. 3/1997 tidak menyebutkan secara jelas pengertian dari pemecahan bidang tanah. Namun, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 48 ayat (1) PP No. 24/1997, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemecahan bidang tanah adalah pemecahan satu bidang tanah yang sudah didaftar menjadi beberapa bagian atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 PP No. 24/1997, bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang terbatas.

Syarat-syarat Pemecahan Bidang Tanah, yaitu:

Harus sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku serta tidak boleh mengakibatkan tidak terlaksananya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk pendaftarannya, masing-masing bidang tanah diberi nomor hak baru dan dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertifikat baru, sebagai pengganti nomor hak, surat ukur, buku tanah dan sertifikat asalnya. Surat ukur, buku tanah, dan sertifikat hak atas tanah semula dinyatakan tidak berlaku lagi.
Jika hak atas tanah yang bersangkutan dibebani dengan hak tanggungan, dan/atau beban-beban lain yang terdaftar, pemecahan bidang tanah baru boleh dilaksanakan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan pemecahan bidang tanah, sepanjang mengenai tanah pertanian, wajib memperhatikan ketentuan mengenai batas minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permohonan pemecahan bidang tanah yang telah didaftar, diajukan oleh pemegang hak atau kuasanya dengan menyebutkan untuk kepentingan apa pemecahan tersebut dilakukan dan melampirkan:
Sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan
Identitas pemohon
Persetujuan tertulis pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah yang bersangkutan dibebani Hak Tanggungan.

Akibat Hukum Pemecahan Bidang Tanah

Akibat hukum dari pemecahan bidang tanah adalah masing-masing bagian tanah merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula.

II. Pemisahan Bidang Tanah
Pemisahan bidang tanah secara rinci diatur dalam Pasal 49 PP No. 24/1997 dan Pasal 134 Permenag/ Ka.BPN No. 3/1997.

PP No. 24/1997 maupun Permenag/Ka.BPN No. 3/1997 tidak menyebutkan secara jelas pengertian dari pemisahan bidang tanah. Namun, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) PP No. 24/1997, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemisahan bidang tanah adalah pemisahan satu bidang tanah yang sudah didaftar menjadi sebagian atau beberapa bagian atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan.

Syarat-syarat Pemisahan Bidang Tanah, yaitu:

Untuk pendaftarannya, diberi nomor hak dan dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertifikat tersendiri.
Pada peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan sertifikat bidang tanah semula dibubuhkan catatan mengenai telah diadakannya pemisahan bidang tanah.
Catatan mengenai adanya hak tanggungan dan beban lain yang ada pada buku tanah dan sertifikat hak atas bidang tanah induk, dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak atas bidang tanah yang dipisahkan.
Lampiran yang harus dibuat dalam pemisahan bidang tanah adalah:
Sertifikat hak atas tanah induk,
Identitas pemohon,
Persetujuan tertulis pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah yang bersangkutan dibebani hak tanggungan.
Surat kuasa tertulis apabila permohonan diajukan bukan oleh pemegang hak.

Akibat Hukum Pemisahan Bidang Tanah

Persamaan status hukum antara bidang atau bidang-bidang tanah yang dipisahkan dengan status bidang tanah induknya.
Dalam hal pemisahan terhadap bidang tanah yang luas, yang diambil sebagian tanahnya dan menjadi satuan bidang tanah baru, bidang tanah induknya masih ada dan tidak berubah identitasnya, kecuali mengenai luas dan batasnya.

III. Penggabungan Bidang Tanah
Penggabungan bidang tanah secara rinci diatur dalam Pasal 50 PP No. 24/1997 dan Pasal 135 Permenag/Ka.BPN No. 3/1997.

PP No. 24/1997 maupun Permenag/Ka.BPN No. 3/1997 tidak menyebutkan secara jelas pengertian dari penggabungan bidang tanah. Namun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 50 ayat (1) PP No. 24/1997, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggabungan bidang tanah adalah penggabungan dua bidang tanah atau lebih yang sudah didaftar dan letaknya berbatasan, dan kesemuanya merupakan atas nama pemilik yang sama, sehingga menjadi satu satuan bidang baru atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan.

Syarat-syarat Penggabungan Bidang Tanah, yaitu:

Semua bidang tanah dimiliki dengan hak yang sama dan bersisa jangka waktu yang sama.
Untuk pendaftarannya, diberi nomor hak dan dibuatkan surat ukur, buku tanah, dan sertifikat baru.
Pendaftaran dilakukan dengan menyatakan tidak berlaku lagi surat ukur, buku tanah, dan sertifikat hak atas bidang-bidang tanah yang digabung.
Membuat surat ukur, buku tanah dan sertifikat baru untuk bidang tanah hasil penggabungan.
Lampiran yang harus dibuat dalam penggabungan bidang tanah adalah:
Sertifikat-sertifikat hak atas bidang-bidang tanah yang akan digabung,
Identitas pemohon.
Dapat dilakukan apabila tidak ada catatan mengenai beban Hak Tanggungan atau beban lainnya pada hak atas bidang-bidang tanah yang akan digabung.

Akibat Hukum Penggabungan Bidang Tanah

Akibat hukum dari penggabungan bidang tanah adalah persamaan status hukum bidang tanah hasil penggabungan dengan status bidang-bidang tanah yang digabung.

Alsha Alexandra Kartika

read more

Pembuktian Hak Lama pada Pendaftaran Tanah

Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”) mengatur bahwa, untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama, dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk memenuhi syarat mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

Permohonan tersebut harus disertai bukti kepemilikan/ dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan. Alat-alat bukti yang dimaksudkan tersebut dapat berupa:

1. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27), yang telah dibubuhi cacatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau

2. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau

3. surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

4. sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau

5. sertifikat hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau

6. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau

7. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanah-nya belum dibukukan; atau

8. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau

9. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau

10. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atu Pemerintah Daerah; atau

11. petuk Pajak Bumi/Landrete, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau

12. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau

13. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Jika, bukti tertulis kepemilikan sebidang tanah tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Adjudikasi atau oleh Kepala Kantor Pertanahan. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut.

Dalam hal tidak atau tidak tersedianya secara lengkap alat-alat pembuktian di atas, maka Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997, memberi jalan keluar dengan mengganti ketidaksediaan bukti kepemilikan sebidang tanah tersebut dengan bukti penguasaan fisik atas tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:

a. bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut;

b. bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak digangu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;

c. bahwa hal-hal tersebut diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya;

d. bahwa telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman;

e. bahwa telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan di atas;

f. bahwa akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik;

Ketentuan Pasal 76 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”) mengatur lebih lanjut mengenai bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah yang tidak tersedia tersebut, sesuai yang tercantum pada Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997. Permohonan yang diajukan tersebut harus disertai:

1.) surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:

a. bahwa pemohon telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan pendahulunya tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih.

b. bahwa penguasaan tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik;

c. bahwa penguasaan itu tidak pernah digangu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;

d. bahwa tanah tersebut sekarang tidak memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, penandatangan bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata jika memberikan keterangan palsu;

2.) Keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang biasanya disebut Surat Keterangan Tanah (“SKT”) dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk yang sudah lama bertinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga pemohon sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang membenarkan apa yang dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataan di atas.

Pembuktian hak-hak lama ini biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang belum pernah tersentuh administrasi dan hukum pertanahan yang modern. Setelah bukti penguasaan fisik tersebut dilampirkan dalam permohonan hak atas tanah, lalu dilakukan pemeriksaan terhadap tanah sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah, maka akan jelas bahwa pemegang hak maupun tanahnya telah terdaftar dan pemegang hak tersebut mempunyai hubungan hukum dengan tanahnya. Bukti bahwa pemegang hak berhak atas tanahnya adalah pemberian tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat yang dinamakan sertifikat tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat tersebut, maka tercapailah kepastian hukum.

Sofie Widyana P.

read more

Kegiatan Pendaftaran Tanah

Latar Belakang

Definisi pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) yang meliputi: pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kegiatan pendaftaran tanah lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, yaitu meliputi:

1. Kegiatan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali (Opzet atau Initial Registration)

Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk objek tanah yang belum didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 10/1961”) atau PP 24/1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan (Pasal 1 angka 10 PP 24/1997). Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya mengenai satu beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP 24/1997).

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya, meliputi:
a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik

1. Pembuatan peta dasar pendaftaran

2. Pendaftaran batas bidang-bidang tanah

3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran

4. Pembuatan daftar tanah

5. Pembuatan surat ukur

b. Pembuktian hak dan pembukuannya, meliputi;

1. Pembuktian hak baru

2. Pembuktian hak lama

c. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah

d. Penyajian daftar umum dan dokumen

e. Kegiatan pemeliharan data pendaftaran tanah

2. Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (Bijhouding atau Maintenance)

Kegiatan ini adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, daftar surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian (Pasal 1 angka 12 PP 24/1997).

Berdasarkan Pasal 36 PP 24/1997, pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Perubahan fisik terjadi kalau diadakan pemisahan, pemecahan, atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar. Perubahan data yuridis terjadi misalnya jika diadakan pembebanan atau pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah didaftar.

Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik atau data yuridis tersebut kepada Kantor Pertanahan dan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah.

Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, terdiri atas:

a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

1. pemindahan hak dengan lelang

2. peralihan hak karena pewarisan

3. peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi

4. pembebanan hak

5. penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak

b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, meliputi:

1. perpanjangan jangka waktu hak atas tanah;

2. pemecahan, pemisahan, dan penggabungan bidang tanah

3. pembagian hak bersama;

4. hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun

5. peralihan dan hapusnya hak tanggungan;

6. perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan;

7. perubahan nama.

Sofie Widyana P.

read more

Izin Lokasi

Latar Belakang
Izin lokasi diperlukan oleh suatu perusahaan untuk memperoleh tanah dalam rangka melaksanakan rencana penanaman modal yang dimilikinya. Izin lokasi ini diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi (“Permenag No. 2/1999”).

Izin Lokasi
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.

Setiap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penanaman modal wajib mempunyai izin lokasi untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal yang bersangkutan. Namun, Izin Lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan dalam hal:

tanah yang akan diperoleh merupakan pemasukan (inbreng) dari para pemegang saham;
tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagai atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut, dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang;
tanah yang akan diperoleh diperlukan dalam rangka melajaksanakan usaha industri dalam suatu kawasan industri;
tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan rencana pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut;
tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan untuk perluasan itu telah diperoleh izin tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan;
tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar) untuk usaha pertanian atau tidak lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi ) untuk usaha bukan pertanian; atau
tanah yang akan dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan uyang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.

Jangka Waktu Pemberian Izin Lokasi
Izin Lokasi diberikan untuk jangka waktu sebagai berikut:

a. Izin Lokasi seluas sampai dengan 25 Ha, 1 (satu) tahun;

b. Izin Lokasi seluas lebih dari 25 Ha s/d 50 Ha, 2 (dua) tahun;

c. Izin Lokasi seluas lebih dari 50 Ha, 3 (tiga) tahun.

Dalam hal perolehan tanah belum selesai dalam jangka waktu Izin Lokasi sebagaimana tersebut di atas, maka Izin Lokasi dapat diperpanjang jangka waktunya selama 1 (satu) tahun apabila tanah yang sudah diperoleh mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen) dari luas tanah yang ditunjuk dalam Izin Lokasi.

Tata Cara Pemberian Izin Lokasi
Sebelum Izin Lokasi diberikan, penting untuk diketahui bahwa tanah yang dapat ditunjuk dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan menurut persetujuan penanaman modal yang dimilikinya.

Izin Lokasi ini diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah. Izin Lokasi diberikan dalam surat keputusan pemberian Izin Lokasi yang ditandatangani oleh Bupati/Walikotamadya atau, untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta setelah diadakan rapat koordinasi antar instansi terkait, yang dipimpin oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, atau oleh pejabat yang ditunjuk secara tetap olehnya.

Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Lokasi

Hak Pemegang Izin Lokasi adalah sebagai berikut:
membebaskan tanah dalam areal Izin Lokasi dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang memiliki kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah atau cara lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
pemegang Izin Lokasi dapat diberikan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepadanya untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keperluan untuk melaksanakan rencana penanaman modalnya.
Pemegang Izin Lokasi berkewajiban untuk:
menghormati kepentingan pihak-pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan;
tidak menutup atau mengurangi aksessibilitas yang dimiliki masyarakat di sekitar lokasi;
menjaga serta melindungi kepentingan umum;
melaporkan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai perolehan tanah yang sudah dilaksanakannya berdasarkan Izin Lokasi dan pelaksanaan penggunaan tanah tersebut.

read more