Rumah Susun

Aspek Hukum Kepemilikan Kios Pada Pertokoan dan Mal Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”), kios berasal dari kata ki dan os yang berarti toko kecil (tempat berjualan buku, koran dan lain-lain). Kios adalah salah satu bentuk usaha yang sederhana dan dapat ditemukan dengan mudah disegala pelosok kota maupun desa. Pada perkotaan seperti Jakarta, kios-kios banyak kita jumpai pada pertokoan moderen seperti Mangga Dua dan juga pada Mal (pusat perbelanjaan) seperti Ambassador.

Kios pada pertokoan dan mal (pusat perbelanjaan) seperti yang dijelaskan di atas, ada yang berstatus strata title atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “Rumah susun” yaitu kios yang dibeli atau dimiliki secara pribadi, dan ada juga yang tidak berstatus strata title atau Rumah susun yaitu kios yang hanya disewa. Bagi kios yang berstatus Rumah susun diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No. 20/2011”) dengan memenuhi kriteria yaitu bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (Pasal 1 Angka 1 UU No. 20/2011). Maka kios pada pertokoan dan mal (pusat perbelanjaan) yang memenuhi kriteria tersebut di atas, tunduk pada UU No. 20/2011.

Proses kepemilikan Kios pada Pertokoan dan Mal (pusat perbelanjaan) diawali dengan jual beli yang dilakukan melalui akta jual beli (“AJB”), yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT untuk mendapatkan sertifikat hak milik satuan rumah susun (“SHM Sarusun”) dan di hadapan notaris apabila untuk mendapatkan sertifikat kepemilikan gedung bangunan (“SKGB Sarusun”) sebagai bukti peralihan hak (Pasal 44 ayat (1) UU No. 20/2011 beserta Penjelasannya). Sebagai tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM Sarusun oleh kantor pertanahan kabupaten/kota (Pasal 47 ayat (1) dan (4) UU No. 20/2011).

Sartika DY Darwis

read more

Status Kepemilikan Parkir dalam Strata Title

Strata title di Indonesia dapat disebut dengan rumah susun, apartemen, flat, condominium. Akan tetapi dalam bahasa hukum lebih dikenal dengan istilah rumah susun. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Rumah susun diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No. 20/2011”).

Menurut Pasal 1 angka 5 dan 6 UU No. 20/2011 yang dimaksud bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Contohnya: fondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, talang air, tangga, lift, selasar, saluran, pipa, jaringan listrik, gas, dan telekomunikasi. Sedangkan yang dimaksud benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Contohnya: ruang pertemuan, tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana sosial, tempat ibadah, tempat bermain, dan tempat parkir yang terpisah atau menyatu dengan struktur bangunan rumah susun. Sehingga berdasarkan ketentuan di atas, status kepemilikan parkir dalam Strata Title ialah merupakan benda bersama yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Sartika DY Darwis

read more

Pengalihan, Pembebanan, dan Pendaftaran Hak atas Satuan Rumah Susun

Pengalihan

Menurut penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No.20/2011”), yang dimaksud dengan “pengalihan” adalah pengalihan pemilikan yang dibuktikan dengan akta yang dibuat:

Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) untuk Sertifikat Hak Milik (“SHM”) satuan rumah susun (“sarusun”); dan
Oleh notaris untuk Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (“SKBG”) sarusun.
Dalam hal pengalihan hak atas sarusun melalui jual beli, diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.20/2011. Proses jual beli, yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai, harus dilakukan melalui akta jual beli (“AJB”). AJB dibuat di hadapan PPAT untuk SHM sarusun dan notaris untuk SKBG sarusun sebagai bukti peralihan hak.

Pengalihan sarusun umum, yaitu sarusun yang diperuntukan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (“MBR”) sehingga mendapat dukungan/subsidi dari pemerintah, secara khusus diatur dalam Pasal 54 ayat (2) UU No.20/2011. Pengalihan atas sarusun umum, hanya dapat dilakukan dengan:

a. Pewarisan

b. Perikatan kepemilikan rumah susun setelah jangka waktu 20 (dua puluh) tahun; atau

c. Pindah tempat tinggal yang dibuktikan dengan surat keterangan pindah dari yang berwenang.

Untuk pengalihan sarusun umum dengan cara seperti dalam poin (b) dan (c) di atas, hanya dapat dilakukan melalui badan pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintah yang mempunyai fungsi untuk melakukan pelaksanaan pembangunan, pengalihan kepemilikan, dan distribusi rumah susun umum dan rumah susun khusus secara terkoordinasi dan terintegrasi.

Menurut Pasal 103 UU No.20/2011, setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikan sarusun umum kepada pihak lain, kecuali dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) yang telah dijelaskan diatas. Ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 115 UU No.20/2011, yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyewakan atau mengalihkan kepemilikan sarusun umum kepada pihak lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta Rupiah).

Pembebanan

UU No.20/2011 mengatur mengenai pembebanan hak atas sarusun sebagai berikut:

SHM sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan (Pasal 47 ayat 5 UU No.20/2011);
SKBG sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 48 ayat 4 UU No.20/2011). SKBG sarusun yang dijadikan jaminan utang secara fidusia harus didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (Pasal 48 ayat 5 UU No.20/2011).

Pendaftaran

Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun. (Pasal 47 ayat 1 UU No.20/2011). Untuk bisa memiliki SHM sarusun, harus dipenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah (Pasal 47 ayat 2 UU No.20/2011). SHM sarusun diterbitkan oleh kantor pertanahan kabupaten/kota (Pasal 47 ayat 4 UU No.20/2011).

Pelaku pembangunan (developer) wajib memisahkan rumah susun atas sarusun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dalam bentuk gambar dan uraian. Dan selanjutnya gambar dan uraian tersebut dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang disahkan oleh bupati/walikota, khusus untuk Provinsi DKI Jakarta, akta pemisahan disahkan oleh Gubernur. Untuk mendapatkan SHM sarusun, perlu dibuat akta pemisahan, lalu dibuat Buku Tanah, dan setelah itu dilakukan penerbitan SHM Sarusun tersebut. SHM sarusun terjadi sejak didaftarkannya akta pemisahan dengan dibuatnya Buku Tanah untuk setiap satuan rumah susun yang bersangkutan (Pasal 39 Ayat 5 PP No. 4 Tahun 1988). Jadi Pendaftaran Hak atas Satuan Rumah Susun bertujuan untuk memiliki SHM Sarusun.

SHM Sarusun di buat dengan cara:

Membuat salinan dari Buku Tanah yang bersangkutan;
Membuat salinan surat ukur atas tanah bersama;
Membuat gambar denah satuan rumah susun yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1989).

Rama Mahendra

read more

Kewajiban Membayar Service Charge oleh Pemilik Satuan Rumah Susun

Setiap anggota perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (“PPPSRS”) mempunyai hak dan kewajiban dalam rangka pengelolaan satuan rumah susun. Keanggotaan ini diwakili oleh kepala keluarga dan mulai berlaku sejak tercatat dalam daftar penghuni dan/atau telah berdomisili di satuan rumah susun (“sarusun”) yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pasal 16 ayat 2 butir b Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (“PP 4/1988”) mengatur bahwa, setiap penghuni sarusun berkewajiban membayar iuran pengelolaan (Service Charge). Iuran pengelolaan (Service Charge) tersebut berasal dari anggota PPPSRS yang dipungut oleh perhimpunan atau badan pengelola sesuai dengan syarat-syarat yang telah diperjanjikan antara pengurus dan badan pengelola ataupun berdasarkan Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Penghuni.

Iuran pengelolaan (Service Charge) ini adalah tanggung jawab pemilik, kecuali Pemilik mengalihkan kepada penghuni. Sesuai dengan ketentuan Pasal 74 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU 20/2011”) yang menyebutkan bahwa, PPPSRS beranggotakan pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun, Kuasa dari pemilik kepada penghuni terbatas pada hal penghunian, misalnya, dalam penentuan besarnya iuran pengelolaan untuk keamanan, kebersihan, atau sosial kemasyarakatan

Iuran pengelolaan (Service Charge) untuk setiap Sarusun dihitung dari total biaya pengelolaan sarusun sehari-hari sesuai anggaran yang ditetapkan PPPRS. Biaya ditanggung bersama oleh pemilik sarusun berdasarkan Nilai Perbandingan Proporsional Unit sarusunnya.

Setiap penghuni sarusun yang melanggar Pasal 16 ayat 2 butir b PP 4/1988 yaitu, tidak memenuhi kewajiban membayar iuran pengelolaan (Service Charge) adalah termasuk kedalam pidana pelanggaran. Sesuai yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) PP 4/1988 yaitu, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah).

Sofie Widyana P.

read more

Tindak Pidana Terkait Rumah Susun

Ketentuan pidana terkait rumah susun diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 23 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 (“UU 16/1985”) tentang Rumah Susun.

Pasal 21 ayat (1) UU 16/1985 mengatur sanksi pidana yang berbunyi, “barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan Pasal 6 UU 16/1985, Pasal 17 ayat (2) UU 16/1985 dan Pasal 18 ayat (1) UU 16/1985 diancam dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000, – (seratus juta rupiah)”.

Kemudian, pada Pasal 21 ayat (3) UU 16/1985 mengatur sanksi pidana yang berbunyi,”barang siapa yang karena kelalaiannya menyebabkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 16/1985, Pasal 17 ayat (2) UU 16/1985, dan Pasal 18 ayat (1) UU 16/1985 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)”.

Ketentuan sanksi pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 21 ayat (1) UU 16/1985 dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan. Sedangkan ketentuan sanksi pidana pada Pasal 21 ayat (3) UU 16/1985 dikategorikan sebagai tindak pidana pelanggaran.

Selanjutnya pada Pasal 22 UU 16/1985 mengatur bahwa, selain pidana yang dijatuhkan karena kelalaian sebagaimana yang dimaksud diatas, maka terhadap kelalaian tersebut tetap dibebankan kewajiban untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 16/1985, Pasal 17 ayat (2) UU 16/1985, Pasal 18 ayat (1) UU 16/1985. Kemudian, berdasarkan Pasal 23 UU 16/1985 disebutkan bahwa, Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan UU 16/1985 ini dapat memuat ancaman pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Tindak pidana terkait rumah susun yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dan kejahatan diatas adalah setiap perbuatan yang melanggar terhadap ketentuan didalam Pasal 6 UU 16/1985, Pasal 17 ayat (2) UU 16/1985 dan Pasal 18 ayat (1) UU 16/1985 berikut ini:

1. Persyaratan Teknis dan Administratif

Ketentuan dalam Pasal 6 UU 16/1985 mengatur bahwa, pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan teknis dan administratif. Selanjutnya, ketentuan persyaratan teknis dan administratif tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan persyaratan teknis adalah antara lain mengatur mengenai struktur bangunan, keamanan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan. Sedangkan persyaratan administratif yang dimaksudkan antara lain mengenai perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan, izin lokasi dan/atau peruntukannya, serta perizinan mendirikan bangunan (IMB).

2. Pelaksanaan Eksekusi Hipotik dan Fidusia Setelah Pengumuman dan Pemberitahuan

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU 16/1985 yang mengatur bahwa, pelaksanaan eksekusi hipotik dan fidusia dalam rangka pelunasan utang, baru dapat dilakukan setelah 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan, dan/atau media massa cetak setempat, tanpa ada pihak yang menyatakan keberatan. Ketentuan kewajiban pengumuman dan pemberitahuan sebelum eksekusi hipotik dan fiidusia dimaksudkan undang-undang ini untuk melindungi kepentingan pihak lain.

3. Izin Layak Huni

Ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) UU 16/1985 mengatur bahwa, satuan rumah susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Izin layak huni tersebut adalah sebagai syarat untuk penerbitan sertifikat hak milik atas satuan-satuan rumah susun. Izin layak huni juga diperlukan bagi rumah susun yang bukan hunian. Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menjamin keselamatan, keamanan serta ketertiban para penghuni dan pihak lainnya.

Sofie Widyana P.

read more

Fungsi dari Nilai Perbandingan Proporsional bagi Pemilik Rumah Susun

Pasal 1 Angka 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun (“PP No. 4 / 1988”) menjelaskan definisi Nilai Perbandingan Proposional yaitu, angka yang menunjukan perbandingan antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Nilai Perbandingan Proposional ini dapat dihitung dengan menggunakan 2 (dua) cara, yaitu:

Berdasarkan luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan terhadap jumlah luas bangunan
Nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu penyelenggara pembangunan untuk pertama kali memperhitungkan biaya pembangunan secara keseluruhan untuk menentukan harga jualnya.
Penjelasan pada Pasal tersebut diatas menyebutkan bahwa Nilai Perbandingan Proporsional dari satuan rumah susun dimaksud, dihitung pada saat penyelenggara pembangunan menghitung keseluruhan biaya pembangunan. Harga masing-masing satuan susun rumah susun terhadap harga bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama pada saat perhitungan keseluruhan biaya pembangunan digunakan sebagai dasar perhitungan Nilai Perbandingan Proposional. Nilai Perbandingan Proposional tersebut dipakai sebagai dasar untuk mengadakan pemisahan dan penerbitan “sertifikat hak milik atas satuan rumah susun”, dan juga sebagai dasar untuk menentukan hak dan kewajiban terhadap pemilikan dan pengelolaaan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Sofie Widyana

read more

Perbedaan Prinsip Istilah Pemilik dengan Penghuni Rumah Susun

Latar Belakang
Istilah “Pemilik” rumah susun dan “Penghuni” rumah susun, diatur dalam dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (“UU 16/85”), terutama Pasal 1 angka 9 dan angka 10, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemilik adalah perseorangan atau, badan hukum yang memiliki satuan rumah susun yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah, sedangkan yang dimaksud dengan Penghuni adalah perseorangan yang bertempat tinggal dalam satuan rumah susun.

Perbedaan Prinsip
Perbedaan prinsip antara istilah Pemilik dengan Penghuni rumah susun terletak pada perbedaan unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 1 Angka 9 dan Angka 10 UU 16/85.
Pemilik atas suatu rumah susun, memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
1. Perseorangan atau badan hukum
Yang dimaksud dengan perseorangan adalah manusia (naturlijkpersoon) yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sedangkan yang diamksud dengan Badan hukum (rechtspersoon) adalah badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan yang memiliki hak dan kewajiban, serta dapat digugat ataupun menggugat di depan Pengadilan, contohnya Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Koperasi.
2. Memiliki satuan rumah susun
Orang atau badan hukum tersebut telah mempunyai hak kepemilikan yang sah secara hukum.atas satuan rumah susun.
3. Memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah
Pemilik satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 36, dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”).
Sedangkan agar seseorang dapat disebut sebagai Penghuni atas suatu rumah susun, maka perlu dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Perseorangan
Yang dimaksud dengan perseorangan adalah manusia (naturlijkpersoon) yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
2. Bertempat tinggal dalam satuan rumah susun
Orang tersebut berdomisili dalam areal rumah susun yang bersangkutan akan tetapi tidak hak kepemilikan atasnya.

Dengan kesimpulan bahwa Pemilik rumah susun dapat pula sebagai Penghuni rumah susun, akan tetapi Penghuni rumah susun belum tentu dirinya sebagai Pemilik atas rumah susun tersebut. Artinya bahwa Pemilik tidak selalu merupakan Penghuni dan dapat menyewakan unit satuan rumah susun yang dimilikinya, sedangkan Penghuni adalah mereka yang tinggal di unit rumah susun tersebut.

Rama Mahendra

read more