Sekarang ini dikenal sistem pembiayaan sekunder perumahan (“Secondary Mortgage Facility”) yang bertujuan untuk mengatasi keterbatasan dana dalam rangka kredit kepemilikan rumah bagi masyarakat, yang disalurkan melalui Bank pemberi KPR. Dengan adanya fasilitas pembiayaan ini, bank memiliki diversifikasi sumber dana, dimana dana yang digunakan untuk pemberian kredit, tidak semata – mata diperoleh melalui penghimpunan dana secara konvensional seperti tabungan, giro, atau  deposito, melainkan dapat diperoleh dari perusahaan asuransi, dana pensiun ataupun investor perorangan yang tidak perlu menjadi nasabah bank tersebut.

Pengaturan mengenai sistem pembiayaan sekunder perumahan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan dan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 132/KMK.014 Tahun 1998 (“Keputusan Menteri”). Pengertian fasilitas pembiayaan sekunder perumahan menurut Keputusan Menteri adalah pinjaman jangka menengah atau panjang kepada bank yang memberikan kredit pemilikan rumah dengan jaminan berupa tagihan atas kredit pemilikan rumah dari hak tanggungan atas rumah dan tanah yang bersangkutan.

Pembiayaan dalam sistem ini melibatkan beberapa pihak yaitu penerima KPR (“Debitur”), Bank pemberi KPR (“Mortgage Lenders), Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan (telah dibentuk PT Sarana Multigiya Finansial yang secara khusus didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pembiayaan sekunder) dan investor.

Merujuk pada Keputusan Menteri tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan mekanisme pembiayaan sebagai berikut :

Mortgage Lenders memberikan kredit kepada Debitur dengan jaminan tanah dan bangunan Debitur yang diikat dengan hak tanggungan. Tagihan atau hutang KPR tersebut kemudian dijaminkan oleh Mortgage Lenders kepada Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan (“PPSP”). Selanjutnya  PPSP menjual tagihan KPR ini kepada investor dalam bentuk saham, obligasi atau surat berharga jangka pendek.

Lihat Juga  Penggolongan Kontraktor

Pengalihan tagihan dari Mortgage Lenders kepada PPSP dapat dilakukan secara cessie, subrogasi atau novasi. Namun, dibanding subrogasi dan novasi, cara cessie lebih umum digunakan dalam pengalihan piutang karena relatif lebih aman dan efisien. Melalui cessie, hak tagih terhadap Debitur beralih kepada PPSP sebagai pihak ketiga, sehingga PPSP yang menerima pengalihan piutang tidak perlu mengadakan appraisal lagi terhadap Debitur yang bersangkutan, cukup mengandalkan appraisal yang digunakan kreditur sebelumnya untuk menjamin kapabilitas Debitur dalam melunasi hutangnya.

Berdasarkan Pasal 613 Kitab Undang –Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang mengatur mengenai penyerahan piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, maka pengalihan piutang dari Mortgage Lenders kepada PPSP dapat dilakukan dengan membuat akta otentik atau akta dibawah tangan, namun harus diberitahukan kepada Debitur. Apabila tanpa pemberitahuan, maka pengalihan piutang dari Mortgage Lenders kepada PPSP, tidak dapat mengikat Debitur.

Mengingat begitu banyaknya Debitur yang harus diberitahukan atau dimintakan persetujuan tertulisnya dalam hal pengalihan hutang oleh Mortgage Lenders, maka untuk efisiensi dan pengamanan hukum, umumnya pada perjanjian kredit antara Debitur dengan Mortgage Lenders diatur bahwa Debitur menyetujui bila sewaktu – waktu bank mengalihkan piutangnya kepada pihak ketiga, sehingga dikemudian hari tidak diperlukan lagi pemberitahuan dari bank atau persetujuan tertulis dari Debitur. Melalui klausula ini diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi PPSP dan daya tarik tersendiri bagi investor karena  selain mekanisme pengalihan piutang itu telah didasarkan hukum, efek ini dijamin oleh jaminan berupa tanah dan bangunan yang dilekati hak tanggungan.

Lidwina Halim