Latar Belakang

Panas Bumi merupakan sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya. Dalam pemanfaatannya ada yang diproses secara langsung dan tidak langsung. Pemanfaatan Langsung adalah kegiatan tanpa melakukan proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi jenis energi lain untuk keperluan nonlistrik. Sedangkan pemanfaatan Tidak Langsung adalah kegiatan melalui proses pengubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik .

Panas Bumi merupakan sumber daya alam terbarukan dan ramah lingkungan yang memiliki potensi besar namun pemanfaatannya belum optimal sehingga perlu didorong dan ditingkatkan secara terencana dan terintegrasi guna mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Dalam rangka menjaga keberlanjutan dan ketahanan energi nasional serta efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak langsung sebagai pembangkit tenaga listrik, kewenangan penyelenggaraannya perlu dilaksanakan oleh Pemerintah.

Pada tanggal 21 Februari 2017, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2017  tentang Pemanfaatan Panas Bumi Tidak Langsung (“PP 7/2017”) yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (“UU 21/2014”) dan sekaligus mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi (“PP 75/2014”). Pencabutan PP 75/2014 dikarenakan UU 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (“UU 27/2003”) yang mengamanatkan lahirnya PP 75/2014 pun telah dicabut dengan diundangkannya UU 21/2014 dimana salah satu pertimbangannya adalah  bahwa UU 27/2003 belum mengatur pemanfaatan Panas Bumi secara komprehensif sehingga perlu diganti.

Perbedaan yang cukup signifikan antara peraturan yang dulu dengan yang sekarang adalah bahwa dalam peraturan yang sebelumnya panas bumi diklasifikasikan sebagai kegiatan penambangan atau pertambangan sehingga potensi panas bumi di wilayah hutan konservasi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Dalam peraturan yang sebelumnya, pemanfaatan tidak langsung dilakukan oleh daerah namun sekarang semuanya menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Lihat Juga  Podcast on Real Estate Law - Izin Pelaku Teknis Bangunan

Kewenangan Penyelenggaraan Panas Bumi Untuk Pemanfaatan Tidak Langsung

Penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung di seluruh wilayah Indonesia merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (“Menteri ESDM”)

Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi

Kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung dilaksanakan pada suatu Wilayah Kerja. Dalam rangka penetapan Wilayah Kerja, Menteri ESDM dapat melakukan Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi. Yang dimaksud dengan Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika, dan geokimia, serta survei landaian suhu apabila diperlukan, untuk memperkirakan letak serta ada atau tidak adanya sumber daya Panas Bumi. Sedangkan yang dimaksud dengan Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi kondisi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan Panas Bumi. Dalam pelaksanaan Survei Pendahuluan atau Survei Pendahuluan dan Eksplorasi, Menteri ESDM dapat menugasi Pihak Lain. Penugasan melakukan Survei Pendahuluan diberikan kepada perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan akademik, sedangkan penugasan melakukan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi diberikan kepada Badan Usaha untuk kepentingan pengusahaan Panas Bumi.

Penawaran Wilayah Kerja dengan melalui  Proses Lelang maupun

Penunjukan Langsung dan

Penetapan Luas Wilayah Kerja

Menteri ESDM melakukan Penawaran Wilayah Kerja dengan cara lelang. Pelelangan dilakukan secara terbuka dengan mempertimbangkan kapasitas teknis dan keuangan Peserta Lelang. Untuk memberikan jaminan pemenang lelang yang akan melaksanakan Eksplorasi setelah IPB diberikan, pemenang lelang wajib menyetorkan Komitmen Eksplorasi dalam bentuk rekening bersama sebelum diberikan IPB. Pelelangan dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap, yakni: 1) Pelelangan tahap kesatu untuk menentukan Peserta Lelang yang memenuhi kelengkapan persyaratan administratif dan aspek teknis dan keuangan; dan 2) Pelelangan tahap kedua untuk memilih Peserta Lelang yang akan diberikan IPB oleh Menteri ESDM. Apabila pelelangan tahap pertama hanya terdapat 1 (satu) peserta lelang yang memenuhi kualifikasi maka dilakukan pelelangan ulang, dan apabila tetap hanya ada 1 (satu) peserta lelang yang memenuhi kualifikasi maka Menteri ESDM dapat melakukan Penunjukan Langsung. Luas Wilayah Kerja ditetapkan dengan memperhatikan sistem Panas Bumi dan luas tidak lebih dari 200.000 (dua ratus ribu) hektare.

Lihat Juga  Arsitek di Dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law)

Pemberian Izin Panas Bumi

Dalam rangka pemberian Izin Panas Bumi (“IPB”) pada suatu Wilayah Kerja kepada Pemenang lelang maka Pemenang Lelang wajib membentuk Badan Usaha baru yang secara khusus diperuntukkan untuk mengelola Wilayah Kerja yang dimenangkannya atau melakukan perubahan pada akta pendirian Badan Usaha yang sudah ada. Yang dimaksud dengan Badan Usaha adalah badan hukum yang berusaha di bidang Panas Bumi yang berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau perseroan terbatas dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia serta berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hak dan Kewajiban Pemegang IPB

Pemegang IPB berhak melakukan pengusahaan Panas Bumi yang berupa Eksplorasi, Eksploitasi, dan Pemanfaatan di Wilayah Kerjanya sesuai dengan Izin Panas Bumi yang diberikan dan menggunakan Data dan Informasi Panas Bumi dari Wilayah Kerjanya selama jangka waktu berlakunya IPB. Serta Pemegang IPB wajib memenuhi standar yang keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Memenuhi kewajiban berupa pendapatan negara dan pendapatan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jangka Waktu Izin Panas Bumi

IPB memiliki jangka waktu paling lama 37 (tiga puluh tujuh) tahun dan dapat diperpanjang 20 (dua puluh) tahun setiap kali perpanjangan. Jangka waktu pemegang IPB untuk melaksanakan Eksplorasi paling lama 5 (lima) tahun termasuk untuk kegiatan Studi Kelayakan dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali, masing-masing paling lama 1 (satu) tahun. Sedangkan Eksploitasi dan pemanfaatan memiliki jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak Studi Kelayakan disetujui Menteri. IPB berakhir karena habis masa berlakunya, dikembalikan, dicabut, atau dibatalkan.

Lihat Juga  Paska Gempa dan Tsunami Palu, Developer dan Warga Sama-sama Rugi

Pranity Putri Mirza