BPN

Pelayanan Survey, Pengukuran, Pemetaan sebagai Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional menurut PP No.13 tahun 2010

Dalam pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional (“PP No.13/2010”), salah satu jenis penerimaan negara bukan pajak yang diterima oleh Badan Pertanahan Nasional adalah dari pelayanan survey, pengukuran, pemetaan.

Pelayanan survey, pengukuran, dan pemetaan meliputi:

1. Pelayanan Survei, Pengukuran Batas Kawasan atau Batas Wilayah, dan Pemetaan;
2. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah dalam rangka Penetapan Batas, yang meliputi:

i. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah;

-luas tanah sampai 10 hektar

Tarif: Tu = (L/500 x HSBKu) + Rp.100.000,00

-luas tanah 10-1000 hektar

Tarif: Tu = (L/4000 x HSBKu) + Rp.14.000.000,00

-luas tanah lebih dari 1000 hektar

Tarif: Tu = (L/10.000 x HSBKu) + Rp.134.000.000,00

ii. Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah Secara Massal

Secara Massal adalah permohonan yang diajukan paling sedikit 10 (sepuluh) bidang dalam 1 (satu) kelurahan, desa, atau nama lainnya.

Tarif: Tum = 75% x Tu

iii. Pelayanan Pengembalian Batas; dan

Tarif: Tpb= 150% x Tu

iv. Pelayanan Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi.

Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi adalah legalisasi gambar ukur hasil pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah yang dilakukan oleh surveyor berlisensi.

Tarif: Tsl= 30% x Tu

Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah, atau Ruang Perairan
Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah, atau Ruang Perairan adalah seluruh jenis kegiatan pengukuran dalam rangka penetapan batas ruang atas tanah, atau ruang bawah tanah untuk penerbitan sertifikatnya atau kegiatan pertanahan lainnya.

Tarif: 300% x Tu

Yang dimaksud dengan:

hektar adalah luas sama dengan 10.000 m2.
Tu adalah Tarif Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah dalam rangka Penetapan Batas.
L adalah Luas tanah yang dimohon dalam satuan luas meter persegi (m2).
HSBKu adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan pengukuran yang berlaku untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan.
Tum adalah Tarif Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Secara Massal.
Tpb adalah Tarif Pelayanan Pengembalian Batas.
Tsl adalah Tarif Pelayanan Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi

Maria Amanda

read more

Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan/atauBenda-benda yang ada di atasnya (“UU No.20/1961”), Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan/atau benda-benda yang ada diatasnya. Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang berada diatasnya dapat dilakukan apabila tanah dan/atau benda-benda yang berada diatasnya dibutuhkan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula untuk kepentingan pembangunan.

Pengajuan permintaan pencabutan hak-hak atas tanah

Dalam pasal 2 UU No.20/1961, permintaan pencabutan hak-hak atas tanah dan/atau benda-benda yang berada diatasnya diajukan oleh pihak yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria (sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia), melalui Kepala Inspeksi Agraria(sekarang Kantor wilayah BPN Provinsi) disertai dengan:

rencana peruntukannya dan alasan-alasannya
keterangan mengenai nama yang berhak, beserta letak, luas, dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya
rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut.
Proses pencabutan hak-hak atas tanah

Setelah menerima pengajuan permintaan pencabutan hak atas tanah,Kantor wilayah BPN Provinsi meminta pertimbangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan pertimbangan mengenai permintaan pencabutan hak atas tanah. Selain itu,Kantor wilayah BPN Provinsi juga meminta pertimbangan kepada panitia penaksir untuk menaksiran biaya ganti rugi.
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan, Kepala Derah harus sudah menyampaikan pertimbangannya dan panitia penaksir sudah harus menyampaikan taksiran besar ganti kerugian kepada Kantor wilayah BPN Provinsi. Setelah mendapat pertimbangan dan tafsiran ganti kerugian Kantor wilayah BPN Provinsi menyampaikan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan Kepala Daerah dan panitia peaksir belum menyampaikan pertimbangannya, maka Kantor wilayah BPN Provinsi dapat menyampaikan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tanpa menunggu pertimbangan Kepala Daerah dan panitia penaksir.
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengajukan permintaan pencabutan hak atas tanah tersebut kepada Presiden disertai dengan pertimbangan Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan. Pengajuan pencabutan hak atas tanah harus segera dilaksanakan untuk mendapatkan keputusan Presiden mengenai pencabutan hak atas tanah.
Pencabutan hak atas tanah dalam keadaan yang sangat mendesak

Dalam pasal 6 UU No.20/1961, diatur bahwa dalam keadaan yang sangat mendesak, Kantor wilayah BPN Provinsisetelah menerima permintaan pencabutan hak atas tanah dapat langsung mengajukan permintaan pencabutan hak atas tanah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tanpa meminta pertimbangan dari kepala daerah dan taksiran ganti kerugian dari panitia penaksir.

Atas permintaan tersebut, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang memberikan perkenaan kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan benda yang berada diatasnya. Surat keputusan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan Presiden mengenai dikabulkanatau ditolaknya permintaan pencabutan hak atas tanah. Apabila permintaan ditolak maka yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau benda yang bersangkutan dalam keadaan semula, dan/atau memberikan ganti kerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak.

Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang pencabutan hak atas tanah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan turunannya disampaikan kepadayang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu. Isi surat keputusan juga diumumkan melalui surat-surat kabar.Biaya pengumuman tersebut ditanggung oleh pihak yangberkepentingan.

Ganti kerugian

Dalam pasal 8 UU No.20/1961,apabila pihak yang berhak atas hak atas tanah yang akan dicabut tidak bersedia menerima uang ganti kerugian karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka ia dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang daerah kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/atau benda tersebut. Pengadilan yang akan menetapkan besarnya jumlah ganti kerugian.

Setelah ditetapkannya surat keputusan pencabutan hak atas tanah dan setelah dilakukan pembayaran ganti kerugian, maka tanah yang haknya dicabut tersebut menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

Maria Amanda

read more

Pembuktian Hak Lama pada Pendaftaran Tanah

Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”) mengatur bahwa, untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama, dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk memenuhi syarat mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

Permohonan tersebut harus disertai bukti kepemilikan/ dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan. Alat-alat bukti yang dimaksudkan tersebut dapat berupa:

1. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27), yang telah dibubuhi cacatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau

2. grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang bersangkutan; atau

3. surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau

4. sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959; atau

5. sertifikat hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau

6. akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau

7. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanah-nya belum dibukukan; atau

8. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau

9. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau

10. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atu Pemerintah Daerah; atau

11. petuk Pajak Bumi/Landrete, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau

12. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau

13. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Jika, bukti tertulis kepemilikan sebidang tanah tersebut tidak lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan itu dapat dilakukan dengan keterangan saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dipercaya kebenarannya menurut pendapat Panitia Adjudikasi atau oleh Kepala Kantor Pertanahan. Yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang cakap memberi kesaksian dan mengetahui kepemilikan tersebut.

Dalam hal tidak atau tidak tersedianya secara lengkap alat-alat pembuktian di atas, maka Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997, memberi jalan keluar dengan mengganti ketidaksediaan bukti kepemilikan sebidang tanah tersebut dengan bukti penguasaan fisik atas tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:

a. bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dilakukan secara nyata dan dengan itikad baik selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut;

b. bahwa kenyataan penguasaan dan penggunaan tanah tersebut selama itu tidak digangu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;

c. bahwa hal-hal tersebut diperkuat oleh kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya;

d. bahwa telah diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman;

e. bahwa telah diadakan penelitian juga mengenai kebenaran hal-hal yang disebutkan di atas;

f. bahwa akhirnya kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak yang bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik dan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik;

Ketentuan Pasal 76 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag/Ka.BPN No. 3/1997”) mengatur lebih lanjut mengenai bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah yang tidak tersedia tersebut, sesuai yang tercantum pada Pasal 24 ayat (2) PP No. 24/1997. Permohonan yang diajukan tersebut harus disertai:

1.) surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:

a. bahwa pemohon telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan pendahulunya tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih.

b. bahwa penguasaan tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik;

c. bahwa penguasaan itu tidak pernah digangu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan;

d. bahwa tanah tersebut sekarang tidak memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, penandatangan bersedia dituntut di muka Hakim secara pidana maupun perdata jika memberikan keterangan palsu;

2.) Keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang biasanya disebut Surat Keterangan Tanah (“SKT”) dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk yang sudah lama bertinggal di desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga pemohon sampai derajat kedua baik dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal, yang membenarkan apa yang dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataan di atas.

Pembuktian hak-hak lama ini biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang belum pernah tersentuh administrasi dan hukum pertanahan yang modern. Setelah bukti penguasaan fisik tersebut dilampirkan dalam permohonan hak atas tanah, lalu dilakukan pemeriksaan terhadap tanah sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah, maka akan jelas bahwa pemegang hak maupun tanahnya telah terdaftar dan pemegang hak tersebut mempunyai hubungan hukum dengan tanahnya. Bukti bahwa pemegang hak berhak atas tanahnya adalah pemberian tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat yang dinamakan sertifikat tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat tersebut, maka tercapailah kepastian hukum.

Sofie Widyana P.

read more

Ajudikasi Pendaftaran Tanah

Pengertian ajudikasi menurut Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No 24/1997”) adalah “kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya”. Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah tersebut merupakan prosedur khusus yang dilakukan untuk pemberian status hukum atas bagian-bagian tanah kepada pemilik yang benar-benar berwenang.

Pada pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik, yang pada umumnya bersifat masal dan besar-besaran, maka untuk melaksanakannya Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Panitia Ajudikasi yang dibentuk khusus untuk itu oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, sehingga dengan demikian tugas rutin Kantor Pertanahan tidak terganggu.

Dalam melaksanakan tugasnya, Panitia Ajudikasi dibantu oleh satuan tugas pengukuran dan pemetaan, satuan tugas pengumpul data yuridis dan satuan tugas administrasi yang tugas, susunan dan kegiatannya diatur Menteri.

Pada intinya tugas ajudikasi ini adalah tugas investigasi yang meneliti dan mencari kebenaran formal bukti, yakni data-data yuridis awal yang dimiliki pemegang hak atas tanah, dan tugas justifikasi, yaitu membuat penetapan dan pengesahan bukti yang sudah diteliti tersebut.

Walaupun tugas ajudikasi ini sebenarnya adalah tugas lembaga peradilan yaitu memberikan keputusan atau putusan, akan tetapi, dalam pendaftaran tanah tugas ajudikasi tersebut diberikan kepada pemerintah selaku eksekutif.

Kegiatan ajudikasi pendaftaran tanah ini, jika dilakukan dengan sungguh-sungguh akan sangat mendukung dalam percepatan pendaftaran tanah dan dapat menjamin kepastian hukum.

Sofie Widyana P.

read more

Pengalihan, Pembebanan, dan Pendaftaran Hak atas Satuan Rumah Susun

Pengalihan

Menurut penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No.20/2011”), yang dimaksud dengan “pengalihan” adalah pengalihan pemilikan yang dibuktikan dengan akta yang dibuat:

Oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) untuk Sertifikat Hak Milik (“SHM”) satuan rumah susun (“sarusun”); dan
Oleh notaris untuk Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (“SKBG”) sarusun.
Dalam hal pengalihan hak atas sarusun melalui jual beli, diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.20/2011. Proses jual beli, yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai, harus dilakukan melalui akta jual beli (“AJB”). AJB dibuat di hadapan PPAT untuk SHM sarusun dan notaris untuk SKBG sarusun sebagai bukti peralihan hak.

Pengalihan sarusun umum, yaitu sarusun yang diperuntukan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (“MBR”) sehingga mendapat dukungan/subsidi dari pemerintah, secara khusus diatur dalam Pasal 54 ayat (2) UU No.20/2011. Pengalihan atas sarusun umum, hanya dapat dilakukan dengan:

a. Pewarisan

b. Perikatan kepemilikan rumah susun setelah jangka waktu 20 (dua puluh) tahun; atau

c. Pindah tempat tinggal yang dibuktikan dengan surat keterangan pindah dari yang berwenang.

Untuk pengalihan sarusun umum dengan cara seperti dalam poin (b) dan (c) di atas, hanya dapat dilakukan melalui badan pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintah yang mempunyai fungsi untuk melakukan pelaksanaan pembangunan, pengalihan kepemilikan, dan distribusi rumah susun umum dan rumah susun khusus secara terkoordinasi dan terintegrasi.

Menurut Pasal 103 UU No.20/2011, setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikan sarusun umum kepada pihak lain, kecuali dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) yang telah dijelaskan diatas. Ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 115 UU No.20/2011, yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyewakan atau mengalihkan kepemilikan sarusun umum kepada pihak lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta Rupiah).

Pembebanan

UU No.20/2011 mengatur mengenai pembebanan hak atas sarusun sebagai berikut:

SHM sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan (Pasal 47 ayat 5 UU No.20/2011);
SKBG sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 48 ayat 4 UU No.20/2011). SKBG sarusun yang dijadikan jaminan utang secara fidusia harus didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (Pasal 48 ayat 5 UU No.20/2011).

Pendaftaran

Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun. (Pasal 47 ayat 1 UU No.20/2011). Untuk bisa memiliki SHM sarusun, harus dipenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah (Pasal 47 ayat 2 UU No.20/2011). SHM sarusun diterbitkan oleh kantor pertanahan kabupaten/kota (Pasal 47 ayat 4 UU No.20/2011).

Pelaku pembangunan (developer) wajib memisahkan rumah susun atas sarusun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dalam bentuk gambar dan uraian. Dan selanjutnya gambar dan uraian tersebut dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang disahkan oleh bupati/walikota, khusus untuk Provinsi DKI Jakarta, akta pemisahan disahkan oleh Gubernur. Untuk mendapatkan SHM sarusun, perlu dibuat akta pemisahan, lalu dibuat Buku Tanah, dan setelah itu dilakukan penerbitan SHM Sarusun tersebut. SHM sarusun terjadi sejak didaftarkannya akta pemisahan dengan dibuatnya Buku Tanah untuk setiap satuan rumah susun yang bersangkutan (Pasal 39 Ayat 5 PP No. 4 Tahun 1988). Jadi Pendaftaran Hak atas Satuan Rumah Susun bertujuan untuk memiliki SHM Sarusun.

SHM Sarusun di buat dengan cara:

Membuat salinan dari Buku Tanah yang bersangkutan;
Membuat salinan surat ukur atas tanah bersama;
Membuat gambar denah satuan rumah susun yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1989).

Rama Mahendra

read more

Daily tips: Penertiban dan Pendayaan Tanah Terlantar

Penertiban dan pendayaan tanah terlantar adalah usaha untuk mengambil tindakan langkah penanganan yang ditetapkan dalam bentuk rekomendasi, pembinaan dan peringatan. Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara, untuk dilaksanakan pengaturan lebih lanjut dalam rangka pendayagunaannya berupa kemitraan, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, pemberian hak atas tanah kepada pihak lain.

read more

Daily tips: Mengurus Pembatalan Sertifikat

Pembatalan sertifikat dapat dilakukan melalui:
1. Pengaduan ke BPN

Ketika memutuskan untuk mengadukan pembatalan sertifikat lain kepada BPN, hal utama yang harus disiapkan yaitu segala dokumen terkait kepemilikan tanah tersebut. Selain itu, saksi-saksi yang mengetahui riwayat atas tanah tersebut juga harus disiapkan karena pejabat kantor pertanahan nantinya akan meminta keterangan pada saksi-saksi tersebut. Setelah menerima pengaduan, maka pejabat kantor pertanahan mengklarifikasi keabsahan sertifikat dengan memanggil berbagai pihak terkait permasalahan itu dengan memanggil berbagai pihak terkait permasalahan tersebut dan memeriksa lokasi tanah yang dipermasalahkan. Selanjutnya, pejabat kantor pertanahan akan memutuskan sertifikat siapa yang sah berdasarkan hasil pemeriksaan mereka baik terhadap sertifikat maupun terhadap lokasi tanah.

2. Gugatan ke Pengadilan Negeri

Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri jika terkait adanya dugaan pemalsuan sertifikat sesuai dengan ketentuan KUHP pasal 263.

3. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara

Gugatan pembatalan sertifikat dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara apabila sertifikat tersebut dinilai memiliki cacat.

read more