dreamstimefree_7362717

Tidak semua tanah mempunyai hak atas tanah murni, tetapi ada Hak Pengelolaan Lahan (“HPL”) yang melekat di atasnya, seperti di sebagian daerah di DKI Jakarta yaitu Senayan, Pulomas, dll.

HPL bukan merupakan hak atas tanah, dan tidak diatur dalam Undang – Undang Pokok Agraria tetapi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Tentang Penguasaan Tanah – Tanah Negara dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan – Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya.

Pada umumnya Obyek HPL adalah tanah pertanian dan bukan pertanian, sedangkan subyek atau pemegang HPL adalah Badan Pemerintah Daerah (PEMDA), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) berdasarkan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud diatas.

HPL tidak mempunyai jangka waktu kepemilikan dan diberikan hanya atas tanah negara yang dikuasai oleh PEMDA, BUMN dan BUMD yang bertujuan untuk mengontrol zoning dan land use, agar sesuai dengan perencanaan tata ruangnya.

HPL pada dasarnya adalah suatu hak yang menyangkut kewenangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 Tentang Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Bagian – Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya, sebagai berikut :

  1. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
  2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
  3. Menyerahkan bagian – bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga, menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi – segi peruntukkan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya. Dengan ketentuan, bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat – pejabat yang berwenang, sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Lihat Juga  Podcast on Real Estate Law "Hak Menguasai Negara”

Di atas HPL masih dapat diletakkan lagi hak atas tanah, antara lain Hak Guna Bangunan (“HGB”), Hak Guna Usaha (“HGU”) dan Hak Pakai, akan tetapi secara praktek dan menurut Pasal 7 ayat (2) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, HGB lebih sering diletakkan diatas HPL yang diberikan kepada pihak ketiga yaitu badan hukum atau perorangan, atas dasar perjanjian antara pemegang HPL dengan pihak ketiga tersebut. Sebagai contoh HGB yang berada di atas HPL diperuntukkan sebagai apartemen hunian, maka pihak ketiga tersebut wajib meminta persetujuan dari pemegang HPL dan sepanjang tidak ada perubahan terhadap penggunaan tanah HPL, maka tidak ada alasan untuk tidak memberikan persetujuan tersebut. Sehingga jelas bahwa fungsi persetujuan sebagai kontrol dan tidak bersifat “mutlak” dari pemegang HPL.

Ivan Ari